Kamis, 25 April 2013

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI - HUKUM PERJANJIAN


HUKUM PERJANJIAN

Pengertian Perjanjian
1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
Standar Kontrak Hukum Perjanjian
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini. Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha. Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara. Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku 
b. Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi : dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam – Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut :
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.

3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.

4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.
Syarat sahnya perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi  empat syarat yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal
Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
      PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN

Penyebab pembatalan perjanjian :
-          Pekerja meninggal dunia
-          Jangka waktu perjanjian kerja berakhir
-          Adanya putusan pengadilan dan/ putusan/penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Adanya keadaan/kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Minggu, 24 Maret 2013

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

NAMA KELOMPOK
  1. HESTI AVRIANI                             23211370
  2. NURUL AULIA RAHMAH            25211390
  3. NURULITA INDRIANI                  28211221
  4. SENDA RUSGIANA                       26211667
  5. TATY HARLINI MANURUNG     28211269

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
Menurut sumber  yang kami baca http://www.ckcybers.com/blog/tata-cara-mengurus-ijin-restoran-kafe-atau-warung-makan  tentang tata cara mengurus ijin restoran, kafe atau warung makan, banyak persyaratan yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang akan memulai sebuah usahanya. Banyak penelitian yang harus dijalani baik dari persyaratan administrasi sampai persyaratan non-formal.

Persyaratan Adiministrasi
a.    Mengisi forulir perohonan dengan materai Rp 6.000
b.    Fotokopi KTP dengan menunjukkan KTP Asli
c.    Fotokopi sertifikat tanah atau jika bukan pemilik sendiri ada pernyataan dari pemilik tanah/bangunan bahwa tidak keberatan dijadikan tempat usaha dengan tanda tangan bermaterai
d.   Gambar denah lokasi
e.    Salinan IMB (Izin Mendirikan Bangunan)
f.     Salinan perijinan gangguan (HO)
g.    Salinan NPWP ( Nomor Pokok Wajib Pajak)
h.    Salinan ijin Peruntukkan Penggunaan Tanah
i.      Dokumen –dokumen lainnya berhubungan dengan lingkungan hidup
j.      Salinan akta pendirian perusahaan (jika memang berbadan hokum)

Persyaratan Non-formal
a.    Informasikanusaha anda kepada kelurahan dan RT/RW setempat untuk menghindari punutan liar berbagai oknum pada saat pembangunan
b.    Informasikan kepada ormas – ormas setempat agar tidak ada oknum yang berani mengganggu
c.    Jika jenis makanan anda bersifat halal bagi kalangan muslim, berikan informasi tersebut dengan label halal dan sertifikat dari MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Hesti, Taty, Pak Abdul, Senda, Nurulita, Nurul 
Nama usaha      :  Pecel Lele Lela
Alamat               :  Jl. Margonda Raya No. 434 Depok
Tahun berdiri    :  2006
Ijin usaha           :  sertifikat dipegang oleh pemilik
Ijin lokasi           :  644-2/304/06/2003
NPWP                :  dipegang oleh pemilik
SIUP                   :  dipegang oleh pemilik
Halal                   :  halal dan bersertifikat MUI

Dari informasi yang kami peroleh dari narasumber bapak Abdul adapun cara pengurusan aspek hukum Pecel Lele Lela tersebut adalah:

            Syarat memperoleh SIUP

-          Memiliki HO (perijinan gangguan)
-          Mengisi Surat Permohonan Izin (SPI) pada kantor wilayah perindustrian dan perdagangan pemda setempat
-          Melengkapi dokumen:
a.      Pas foto pemilik ukuran 3x4 sebanyak 5 lembar
b.      Fotokopi KTP pemilik
c.      Fotokopi akta pendirian/akta notaris
d.     Fotokopi HO tetap
-          Menyetorkan uang jaminan (UJ) dan biaya administrasi  pada bank yang ditujukan
-          Menyerahkan seluruh berkas SPI dan persyartan izin lainnya sebagaimana diatas kepada petugas.
-          Kurang lebih 7 hari setelah penyerahan SIUP sudah dapat dimiliki dan masa berlakunya selama usaha masih berjalan 

Syarat mengurus NPWP

            Untuk memperoleh NPWP, wajib pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP (Kantor Pelayanan Pajak) atau KP2KP (Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Pajak) dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan yang diperlukan.
Untuk wajib pajak badan, dokumen  yang diperlukan adalah:
-          Akta pendirian
-          KTP pemilik yang masih berlaku
-         Kepada wajib pajak diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan kartu NPWP diberikan paling lambat satu hari kerja setelah diterimanya permohonan

Mengurus HO ( perijinan gangguan)

            Memperoleh surat izin tetangga yan berisi pernyataan tidak keberatan yang telah diketahui oleh ketua RT/RW setempat yang kemuian diteruskan ke kelurahan, kecamatan, kabupaten sapai kotamadya.

            Mengurus halal MUI

            Untuk memperoleh halal MUI, terlebih dahulu mengurus PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga) dan mengisi formulir yang disediakan oleh departemen kesehatan.
-          Syarat mengurus PIRT
a.      Fotokopi KTP pemilik
b.      Pas foto ukuran 3x4 berwarna sebanyak 2 lembar
c.      Surat keterangan tempat usaha dari kecamatan
d.     Surat keterangan dari puskesmas maupun dokter
e.      Denah lokasi tempat usaha (tidak wajib)
-          Syarat mendapatkan sertifikat halal MUI
a.      Membawa seluruh persyaratan ke kantor MUI terdekat
·         Fotokopi KTP pemilik
·         Pas foto ukuran 3x4 berwarna 2 lembar
·         Fotokopi surat ijin usaha
b.      Mengisi formulir pendaftaran yang berisi bahan apa saja yang digunakan dalam makanan/minuman tersebut
c.       Untuk proses selanjutnya pihak dari MUI akan datang langsung ketempat usaha untuk melakukan survey lapangan
Adapun fungsi adanya aspek hukum tersebut adalah untuk menjaga berjalannya usaha yang dimiliki, menjaga kepercayaan masyarakat dan mentaati hukum yang berlaku.
Dengan sumber hukum yang kami terima dari pihak Pecel Lele Lela, kami menyimpulkan bahwa Pecel Lele Lela sudah memiliki beberapa aspek hukum dari persyaratan tersebut diatas dan sudah layak untuk berdiri.
Thanks to:
Bapak Abdul (Manajer Pecel Lele Lela) sebagai narasumber
Ibu Desi Pujiati sebagai dosen pembimbing
Tim kelompok:  Taty, Nurul, Hesti, Senda, Nurulita
Melli dan Hana sebagai fotographer
Seluruh karyawan Pecel Lele Lela

Rabu, 09 Januari 2013

Tugas Softskill Mentranslate hal 31 sampai 36


An Investigation of Factors Affecting the Quality of the Relationship between
Franchisee and Franchisor and its Impact on Franchisee’s Performance,
Satisfaction, and Commitment: A Study of the Restaurant Franchise System

Soo Bum Lee

Dissertation submitted to the Faculty of the
Virginia Polytechnic Institute and State University
In partial fulfillment of the requirement for the degree of

Doctor of Philosophy
In
Hospitality and Tourism Management

Mahmood A. Khan, Ph.D., Chair
Suzanne K. Murrmann, Ph.D.
Pamela A. Weaver, Ph. D.
Robert J. Harvey, Ph.D.
Yang-Hwe Huo, Ph.D.
April 23, 1999

Blacksburg, Virginia
Keywords: Franchising, Franchisee, Franchisor, Quality of the Relationship,
Foodservice Industry, Structur al Equations Modeling
Copyright 1999, Soo Bum Lee





An Investigation of Factors Affecting the Quality of the Relationship between
Franchisee and Franchisor and its Impact on Franchisee’s Performance,
Satisfaction, and Commitment: A Study of the Restaurant Franchise System

Soo Bum Lee

(ABSTRACT)
The growth of franchising has been an important trend in the hospitality industry, since it was introduced into the restaurant sector by Howard Johnsons in the 1930s. In recent years, because of intense competition quick service restaurants have experienced significant external and internal pressures. Such pressures have caused disputes and abuses of the system and have affected external suppliers, customers, and suppliers, as well as franchisees within the franchise system. Because the franchisor-franchisee relationship has yet to be fully explored, knowledge of the factors that produce a high- quality relationship between franchisor and franchisee are critical to the advancement of knowledge in the hospitality industry.
Leader-Member Exchange (LMX) theory is of fered of an effective theoretical model of antecedents that can predict the effectiveness the fran chisor-franchisee relationship. This study presents a model based on a subset of the Leader-Member Exchange theory.
Using the survey responses of franchisees in the restaurant industry, this study identifies the key factor that affect the franchisee’s commitment, the franchisee’s satisfaction with purchasing or operating franchise outlets, the effects of the franchisor’s brand name on the quality of the relationship, the franchisee’s perception of the franchisor’s support, the franchisee’s motivation to become a franchisee, and the franchisee’s performance.
The results of this study generally support the hypothesized model and provide strong support for the idea that the quality of the relationship between franchisee and franchisor plays a role in ensuring that the contractual relationship will lead to franchisee job satisfaction and financial success for both. The proposed model provides franchisors with valuable information for establishing an effective management strategy to improve
the relationship between franchisor and fran chisee and thus improve the rate of success of both franchisor and franchisee. Similarly, the model can assist both the franchisor and franchisee in understanding their policies in strategic terms and in integrating their different activities to provide the firm with the quality relationship required for maintaining advantage.


Terjemahan halaman 31 sampai 36

 teori ini adalah bahwa baik franchisor dan franchisee yang berusaha memaksimalkan keuntungan (Hayek, 1989). Para franchisor-franchisee hubungan dipengaruhi oleh perbedaan nilai theperceived dari waralaba. Dalam negosiasi kontrak awal, franchisor menentukan syarat-syarat kontrak yang seragam untuk semua franchisee. Diasumsikan bahwa ketentuan kontrak memperhitungkan nilai dari franchise dan nama merek, harus mencakup estimasi dari kinerja gerai ritel keuangan, dan harus menentukan biaya penyediaan jasa. Ketentuan kontrak yang mengandung dalam dokumen pengungkapan, yang digunakan oleh calon franchisee sebagai "menu" dari mana mereka dapat memilih peluang franchise. Calon franchisee lebih cenderung untuk memilih franchisers dengan nilai merek yang lebih tinggi nama, dan dengan formula terbukti sukses. Franchisor tersebut menemukan entri mudah ke pasar baru. Karena pendapatan waralaba pada umumnya merupakan diciptakan terutama melalui franchise biaya, royalti, dan penjualan barang dan jasa kepada franchisee, sukses franchisors cenderung membebankan biaya yang lebih tinggi untuk franchisee, dan lebih ketat dalam memilih calon pewaralaba. Hunt (1977) menemukan bahwa waralaba masyarakat manfaat dengan menawarkan lebih banyak peluang bagi kaum minoritas dan perempuan, dan karena waralaba memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi daripada bisnis dimiliki secara independen.

Panah (1969) menggunakan pendekatan biaya-ekonomi untuk mempelajari waralaba relationships.In teori ini, beban pokok analisis terletak pada perbandingan dari berbagai biaya yang terlibat dalam menjalankan sistem ekonomi dalam penyelidikan. Diasumsikan bahwa para pihak dalam hubungan bertindak keluar dari kepentingan ekonomi dan akan meningkatkan posisi mereka sendiri dengan terlibat dalam perilaku oportunistik (Bergen, Dutta, dan Walker, 1992). Dalam transaksi-biaya ekonomi, unit dasar dari analisis adalah transaksi (Williamson, 1975). Analisis transaksi melibatkan memeriksa dimensi dasar yang mereka berbeda, dan implikasi e th perbedaan untuk desain sistem manajemen. Transaksi-biaya analisis (TCA) menganggap aset-kekhususan sebagai konsep primer (Williamson, 1985). TCA digunakan sebagai teknik untuk menjaga transaksi melawan oportunisme dimungkinkan oleh salah satu pihak (Simpson, 1990). Dalam setiap hubungan waralaba, perlindungan formal adalah perjanjian lisensi yang menentukan persyaratan kepemilikan umum dan tanggung jawab dari kedua belah pihak dengan mengacu pada aset bersama mereka. Williamson (1991) telah menemukan bahwa transaksi-biaya analisis ekonomi meluas lebih jauh dari analisis marjinal, dalam hal ini menyelidiki efisiensi dalam alokasi sumber daya. Kesimpulannya adalah bahwa waralaba memiliki manfaat lebih dari otonomi dalam transaksi, dalam hal ini adalah multilateral tergantung, situasi yang mengurangi biaya dan risiko.

Konflik pengurangan dan pemeliharaan hubungan dihubungkan dengan kepuasan franchisee dalam pertukaran hubungan (Frazier, Gill, dan Kale, 1989). Di antara para peneliti di daerah konflik di saluran waralaba distribusi Lusch (1976), dan Brown, dan Hari (1981). Para penulis ini telah berfokus terutama pada identifikasi alasan konflik. Dua bidang utama konflik adalah penipuan dalam penjualan dan pemberian waralaba, dan praktek-praktek yang tidak adil dalam sistem waralaba operasi (Nevin, Hunt, dan Ruekert, 1980). Tujuan saling terkait dari franchisor dan franchisee cenderung menghasilkan derajat kepercayaan yang tinggi dan solidaritas dalam hubungan. Kaufmann dan Rangan (1990) telah mengusulkan sebuah model matematika untuk menyelesaikan masalah con terlibat konflik antara franchisor dan chisee fran selama proses penambahan unit waralaba baru. Model ini mencakup integrasi pilihan toko, alokasi situs, dan sistem manajemen yang proaktif mengoptimalkan efek dikotomis daya saing dan daya tarik sistem.

Berbagi sewa ekonomi menjadi suatu masalah ketika hubungan franchisor-franchisee yang dimasukkan ke dalam. Franchisor telah tersedia sebagai sumber pendapatan biaya awal waralaba, royalti, sewa properti, penjualan atau penyewaan peralatan, perlengkapan dan bahan baku, penjualan produk franchise ', dan penjualan hak teritorial (Woll, 1968). Ditemukan, oleh Bacus, Bacus, dan Manusia (1993), bahwa kedua industri dan karakteristik Chisor fran ditentukan biaya dasar dan tarif royalti. Karakteristik franchisor yang berlaku termasuk usia perusahaan th e, pangsa pasar, jumlah karyawan dalam sistem, jenis layanan yang ditawarkan kepada franchisee, dan Alue v dari franchisor merek dagang v Alue. Asumsi ini muncul, dari pemeriksaan struktur biaya-retical franchisor theo, bahwa biaya waralaba adalah tetap. Oleh karena itu, kurva penerimaan franchisor dihubungkan dengan franchisee sistem, dan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, akan kemiringan ke bawah dan ke kanan. Namun, asumsi ini harus dimodifikasi untuk menyertakan penempatan berjenjang overhead dan ginality mar penjualan produk dan layanan kepada franchisee. Sebuah proposal oleh Hayek (1989) menunjukkan bahwa harga-sistem ver y efisien sebagai sarana informasi g communicatin dan membawa perubahan. Dalam proposal ini, tujuan utama dari organisasi ekonomi adalah adaptasi, dengan fokus pasar. Ini gs findin adalah kongruen dengan orang-orang dari Sen (1993), yang melaporkan bahwa total investasi per unit, tie-in persyaratan penjualan, dan persentase unit waralaba menetapkan biaya awal yang diperlukan oleh franchisor. Hubungan positif ditemukan oleh Combs dan Castrogiovanni (1994) antara jumlah unit waralaba dan jumlah royalti dibebankan oleh pemilik waralaba.

Dalam literatur ekonomi, pilihan franchisee untuk membeli franchise adalah
dilihat sebagai respon rasional untuk peluang investasi g appealin. Namun, hal ini sudut pandang tidak memperhitungkan karakteristik pribadi dari franchisee. Peterson dan Dant (1990) menggambarkan franchisee sebagai subjek g bein ke "sejumlah besar berkorelasi situasional, kepribadian, dan ekonomi yang cenderung untuk mempengaruhi per persepsi" (hal. 48) tentang waralaba. Adalah penting untuk memahami motivasi ekonomi franchisee, tetapi penyelidikan semacam itu harus ditambah dengan pertimbangan karakteristik pribadi franchisee, yang mungkin memiliki keduanya asal-usul ekonomi dan sosial. Schul, Little, dan Pride (1985) menemukan bahwa kepuasan franchisee terkait dengan bagaimana franchisee mempersepsikan kualitas interaksi dengan franchisor, kualitas dukungan operasional franchisor, daya tarik struktur reward, dan keadilan dan otonomi hubungan. Hasil serupa ditemukan oleh Lewis dan Lambert (1991), bahwa waralaba merasa puas jika mereka merasa bahwa keberhasilan waralaba mereka karena franchisor. Franchisee kepuasan atau pemenuhan pemegang waralaba tujuannya telah digunakan sebagai ukuran kinerja dalam beberapa penelitian (Elango dan Fried, 1997). Ukuran lain kinerja yang telah digunakan untuk waralaba adalah seluruh sistem pertumbuhan penjualan atau unit. Carmen dan Klein (1986) telah menyarankan bahwa tindakan tersebut mungkin cacat dalam bahwa mereka gagal untuk mengenali multi-layered fitur waralaba kinerja. Sebagian besar penelitian telah diukur waralaba hanya dari perspektif franchisor, dan itu harus dipahami bahwa dampak kinerja franchisee mungkin berbeda. Contoh dari perbedaan ini adalah fakta bahwa peningkatan jumlah unit mungkin bermanfaat bagi franchisor, yang tergantung pada pendapatan royalti dari unit di sistem, sementara, di sisi lain, kenaikan tersebut dapat merugikan franchisee, yang pasar mungkin akan menurun dengan adanya franchisee baru. Morrison (1996) menemukan bahwa dalam hubungan kontraktual antara franchisor dan franchisee, masing-masing pihak memiliki peran untuk bermain dalam memastikan bahwa kepuasan keuangan akan menghasilkan untuk kedua, dan bahwa franchisee akan mengalami kepuasan kerja. Masalah hukum yang terlibat dalam waralaba telah dipelajari oleh Hunt dan Nevin (1975). Mereka menyarankan bahwa masalah hukum saat ini menghadapi waralaba jatuh ke dalam tiga bidang utama: "(1) kekeliruan oleh franchisor kepada franchisee potensial tentang operasi dari franchise (masalah pengungkapan), (2) pembatasan oleh franchisor pada sumber pasokan atau jasa yang dibeli oleh franchisee mereka (masalah perjanjian mengikat), dan (3) Ketentuan terminasi memberatkan dalam perjanjian waralaba (masalah pemutusan berubah-ubah) "(hal. 20). Perjanjian mengikat yang dibenarkan oleh pendukung waralaba atas dasar pembelian massa dan kontrol kualitas. Mereka merekomendasikan bahwa ketika perjanjian mengikat yang digunakan oleh franchisor untuk mencapai harga yang lebih tinggi daripada penawaran pasar yang kompetitif, mereka mungkin memiliki efek negatif pada pendapatan franchisee dan karenanya dengan kepuasan dengan hubungan waralaba. Dalam sebuah studi dari franchisee oleh Porter dan Renforth (1978), ditemukan bahwa tiga masalah hukum yang paling umum yang dihadapi oleh franchisee adalah iklan koperasi, inspeksi franchisor dan evaluasi, dan persyaratan kinerja minimum. Fran chising tie-in kontrak dapat dilihat sebagai mengurangi biaya monitoring yang bisa mencegah franchisee bebas naik pada nama dagang franchisor (Klein dan Saft, 1985).

2.3 Ringkasan
Bab ini terdiri dari tinjauan literatur yang dipilih berkaitan dengan waralaba dan
hubungan franchisor-franchisee. Ulasan Bab waralaba literatur dari sudut pandang struktur organisasi, yang meliputi sastra yang terutama Campuran studi deskriptif dan empiris. Juga terakhir adalah penelitian perspektif dari teori modal, keterbatasan sumber daya, teori keagenan, dan literatur mengenai hubungan franchisor-franchisee, termasuk teori perubahan ex relasional. Kebanyakan biasanya, penelitian mencoba untuk menjelaskan penciptaan sistem waralaba telah berfokus pada motivasi franchisor untuk membuka waralaba. Studi ini tidak mencoba untuk menjelaskan mengapa beberapa orang ingin menjadi waralaba. Motivasi individu yang bergabung sistem waralaba dan anteseden yang memprediksi individu cenderung tertarik menjadi franchisee telah menerima sedikit perhatian (Bradach dan Kaufmann, 1988). Mayoritas dukungan teoritis dan empiris telah ditemukan dalam perspektif efisiensi organisasi, yang memandang kontrak franchise yang optimal sebagai salah satu yang ekstrak sewa, dan meminimalkan bebas naik oleh salah satu pihak.