Selasa, 15 Oktober 2013

Kebijakan tentang Maraknya Handphone Murah

Rencana pemerintah yang akan mengenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap ponsel smartphone bisa membuat penyelundupan ponsel bisa semakin merebak. Pasalnya, keinginan masyarakat mempunyai ponsel berteknologi tinggi semakin tinggi.

"Pengenaan pajak barang mewah terhadap akan kontra produktif dan bisa membuat penyelundupan bakal makin marak," ujar Ketua Masyarakat Telematika Indonesia Setyanto Maharso. Saat ini ponsel smartphone bukan lagi dikatakan barang mewah karena dari sisi harga terbilang murah lantaran produsen ponsel semakin berinovasi menciptakan ponsel teknologi tinggi. Seharusnya yang dilakukan pemerintah bukan mengenakan pajak barang mewah terhadap ponsel melainkan mendorong produsen ponsel agar bisa berinvestasi di Indonesia. Karena dengan begitu, akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia terutama dalam hal perdagangan.

Jika ponsel resmi berharga Rp 3 juta per unit maka ponsel ilegal berharga sekitar Rp 2,7 juta. Nah, jika adanya penerapan PPnBm sekitar 10%-20% maka harga ponsel resmi di pasaran sekitar Rp 3,5 juta sehingga perbedaannya sebesar Rp 800.000. "Konsumen akan tergoda untuk menggunakan produk smartphone dari black market karena beda harganya sangat jauh," ujarnya.  Menurut Djatmiko, pemerintah harus memastikan sanggup untuk menurunkan jumlah peredaran ponsel ilegal secara signifikan baru menerapkan PPnBM.

Jika saat ini konsumen yang hendak memiliki handphone (HP) cukup dengan mengeluarkan Rp150 ribu, mungkin lain waktu itu tidak berlaku lagi. Sebab seperti yang marak diberitakan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana mengenakan cukai untuk seluruh produk HP impor. Kalau kebijakan itu benar-benar diberlakukan sudah pasti akan berdampak pada harga.Yang paling merasakan dampaknya sudah pasti End User (konsumen).

Tentu saja, karena peritel produk HP tak mau keuntungannya berkurang. Lantas, membebankan biaya tambahan kepada konsumen. Maklum, sekira 99 persen produk HP yang banyak ditawarkan merupakan hasil impor. "Seperti pajak restoran yang bayar kan pelanggan," urainya berpendapat. Namun, pria yang baru saja merayakan Imlek tak mau berandai-andai tentang tren harga ponsel ke depan. Dia menerangkan, rencana tersebut bukan hal baru.

Pemerintah menginginkan agar komunikasi makin terjangkau makanya bukan cuma HP berharga murah yang banyak bermunculan di pasar tapi juga operator seluler ramai-ramai memberikan tarif komunikasi termasuk untuk internet yang serba murah," serunya berpendapat. Adapun harga HP termurah yang banyak beredar di pasaran antara lain Rp150 ribu untuk HP tipe Candy Bar dan Rp300 ribuan untuk tipe QWERTY dan Touch Screen. Semuanya merupakan produk pabrikan China.

Seperti yang marak diberitakan, Kementerian Keuangan menilai telepon selular merupakan barang mewah. Sayangnya, berdasarkan aturan internasional, produk yang kebanyakan masih impor ini tidak bisa dikenakan bea masuk maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Demikian disampaikan Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Bambang Brodjonegoro di Jakarta. "Ponsel itu kita melihatnya sebagai barang mewah, masalahnya kan mereka tidak kena bea masuk saat ini, bukan PPnBM lain lagi.
Bea masuk yang tidak ada, jadi kita lebih melihat mungkin cukai kalau begitu karena sekarang ini gara-gara konvensi internasional, ponsel itu tidak boleh ada biaya yang dikenakan sama sekali, kalau cukai boleh," ujarnya. Namun, lanjut Bambang, ke depannya diharapkan dengan pengenaan cukai ini bisa mengarahkan produksi telepon selular di dalam negeri. "Oiya nantinya ada, arahnya ke sana. Kayak rokok saja, kalau rokoknya impor langsung cukai tertinggi," jelasnya. Selain wacana tersebut, Bambang menyatakan ada juga wacana untuk pengenaan cukai untuk pulsa.

Pasalnya, penggunaan pulsa oleh masyarakat dinilai berlebihan saat ini. "Konsumsi pulsa kita kan berlebihan nih, terutama untuk golongan bawah malah," jelasnya. Bambang menyatakan nantinya pemberlakuan cukai ini tidak akan diberlakukan untuk kedua barang tersebut, melainkan salah satunya antara ponsel atau pulsa. "Ya nggak mungkin dua-duanya kena, salah satu atau tidak sama sekali," tandasnya. Rencana ini pun dianggap wajar. Pasalnya, di beberapa negara lain pengenaan pajak untuk telepon genggam telah diberlakukan.

Kabarnya, ini juga akan berujung pada pertambahan pendapatan dalam negeri. "Itu adalah bagian dari fiskal pemerintah melihat sumber-sumber lain yang bisa dimasukkan. Dan itu merupakan hal yang wajar," katanya saat ditemui usai Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IV DPR RI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Menurutnya, di negara lain pun kebijakan serupa diberlakukan. Dia kembali menegaskan, hal tersebut merupakan hal yang wajar dilakukan pemerintah. "Di negara lain pun demikian.

Satu sisi pengeluaran kita semakin banyak, pendapatan kita juga harus dieksplor untuk memasukkan beberapa tambahan," katanya. Bahrul juga mengatakan, pengenaan pajak pada ponsel tidak akan berpengaruh pada daya beli masyarakat. "Kenaikan cukai itu sendiri akan berdampak pada harga, iya. Tetapi Tetapi tidak akan menyulitkan orang untuk mengkonsumsinya," kata Bahrul. Bahrul mengatakan, masyarakat yang saat ini memiliki ponsel berarti tergolong orang yang mampu untuk membelinya.

Jika dikenakan cukai, lanjutnya, tidak akan serta merta menurunkan penjualan secara drastis, karena pasar ponsel di Indonesia sendiri termasuk besar. "Orang yang punya ponsel itu berarti orang yang mempunyai kemampuan. Tidak akan berdampak, paling sedikit. Pasar kita kan besar," lanjutnya. Seperti diketahui, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, Kementerian Keuangan menilai telepon selular merupakan barang mewah.

Sayangnya, berdasarkan aturan internasional, produk yang kebanyakan masih impor ini tidak bisa dikenakan bea masuk maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). "Ponsel itu kita melihatnya sebagai barang mewah, masalahnya kan mereka tidak kena bea masuk saat ini, bukan PPnBM lain lagi.
Bea masuk yang tidak ada, jadi kita lebih melihat mungkin cukai kalau begitu karena sekarang ini gara-gara konvensi internasional, ponsel itu tidak boleh ada biaya yang dikenakan sama sekali, kalau cukai boleh," ujarnya. Namun, lanjut Bambang, ke depannya diharapkan dengan pengenaan cukai ini bisa mengarahkan produksi telepon selular di dalam negeri.

Ia menilai, jika black market tidak segera diberantas maka, ketika PPnBM diterapkan pemerintah tidak akan mendapatkan apa-apa. "Pendapatan negara dari PPnBM tidak akan maksimal, sedangkan penerimaan dari pajak penghasilan industri ponsel yang mencapai Rp 1 triliun per tahun akan berkurang," ujarnya.

Ponsel Ilegal

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, hingga saat ini terdapat 70 juta unit ponsel ilegal dari 250 juta unit ponsel yang beredar di pasar tanah air. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menjelaskan bahwa dari 250 juta unit ponsel yang beredar, 20-30% adalah ponsel yang belum terdaftar International Mobile Equipment Indentity (IMEI). "Jadi hingga saat ini ada 250 juta unit ponsel yang beredar di tanah air. Yang belum terdaftar International Mobile Equipment Identity (IMEI) sekitar 20-30%. Jadi ada 70 juta ponsel yang belum terdaftar," kata Gita. Ia mengaku, untuk menghilangkan produk ponsel ilegal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi, wilayah Indonesia yang sangat luas menyulitkan Direktorat Bea Cukai dan instansi melakukan pengawasan.

Dalam jangka pendek ini, Kementerian Perdagangan akan melakukan sosialisasi ke kementerian terkait dan seluruh operator seluler di tanah air untuk menyebarluaskan pentingnya nomor IMEI sebagai data bahwa ponsel tersebut telah terbukti sebagai ponsel legal. Sosialisasi ini juga akan disebarluaskan lagi ke konsumen sebagai pengguna ponsel tersebut. "Nanti kita juga akan sidak ke pasar, termasuk ke pedagang agar tidak menjual produk ilegal," tambahnya.

Gita menambahkan bahwa ponsel ilegal ini tentu saja merugikan pemerintah dari sisi penerimaan negara. Sebab, untuk mendaftarkan IMEI saja, per unit ini bisa memakan biaya Rp 500.000. Jika dikalikan dengan sekitar 70 juta unit ponsel ilegal yang beredar di pasar saat ini, maka potensi penerimaan negara yang gagal diterima sekitar Rp 35 triliun. "Itu belum pajaknya. Apalagi pajak pertambahan nilai (PPN) sekitar 10%," jelasnya.

Sementara itu, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan alasan pertama adalah ponsel yang dikonsumsi masyarakat saat ini secara keseluruhan adalah barang impor. Artinya, ikut memberi tekanan terhadap neraca transaksi berjalan, yang sayangnya sampai saat ini masih defisit. "Pertama, kami lihat hampir semua di Indonesia impor. Ikut berikan kontribusi impor di neraca perdagangan kita," ungkapnya.

Kedua adalah smartphone yang dijual sama sekali tidak dikenakan bea masuk, akibat adanya konvensi Internasional. Sehingga begitu mudah untuk masuk ke dalam negeri. "Kedua, ponsel itu komoditas yang karena konvensi internasional tidak dikenakan bea masuk jadi sangat mudah untuk impor masuk," sebutnya.

Ketiga, secara harga menurut Bambang, smartphone bukan merupakan barang murah. Apalgi jika dibandingkan dengan barang-barang konsumsi umum. "Ketiga, ada beberapa jenis ponsel terutama smartphone harganya tidak bisa dikatakan murah dibandingkan ponsel secara umum. Untuk bisa mengendalikan barang mewah ini, pemerintah harus mengenakan PPnBM terkait barang mewah. Smartphone yang punya kelebihan kalau yang hape biasa nggak kena," pungkasnya.

Sumber :






Tidak ada komentar:

Posting Komentar