Mandeknya pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) antara pemerintah
dan Pansus RUU OJK DPR RI seputar masalah independensi OJK karena adanya
perwakilan pemerintah di Dewan Komisioner, semestinya juga melihat posisi Bank
Indonesia (BI) dalam lembaga tersebut. Pengamat ekonomi Agustinus Prasetyantoko
menyatakan sebenarnya OJK sendiri akan lebih kompleks jika dipisahkan dari BI.
"Kalau OJK dipisah dari BI malah akan terjadi yang lebih kompleks. Satu variable dengan variable lain sulit dibedakan, sehingga sulit melihat faktor yang kurang," ungkapnya pada seminar "Reformasi Kebijakan Moneter dan Pengawasan Bank" di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (16/12/2010).
"Kalau OJK dipisah dari BI malah akan terjadi yang lebih kompleks. Satu variable dengan variable lain sulit dibedakan, sehingga sulit melihat faktor yang kurang," ungkapnya pada seminar "Reformasi Kebijakan Moneter dan Pengawasan Bank" di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (16/12/2010).
Menurutnya jika
dipisahkan unsur BI dari OJK maka akan mengorbankan kebijakan mikro bank dengan
makro moneter, sehingga konteksnya menjadi tidak jelas. "Pemisahan OJK dan
BI akan mengorbankan kebijakan mikro bank dengan makro moneter, jadi kalau
dipisahkan maka akan sulit membedakan konteks mikro dan makro," tegasnya. Sebelumnya,
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah juga menuturkan fungsi
pengawasan perbankan idealnya memang harus dipegang oleh BI sebagai bank
sentral.
"Idealnya seperti itu (fungsi pengawasan bank ada di bank sentral). Setelah krisis keuangan global, jelas pengawas bank harus tahu kondisi moneter dan makro tidak bisa memisahkan pengawas secara total," katanya. "Yang jelas, BI ketika membahas OJK, sudah menyampaikan hal-hal yang disampaikan tadi, tapi keputusan OJK adalah di pemerintah bersama-sama dengan DPR," tambah Halim.
"Idealnya seperti itu (fungsi pengawasan bank ada di bank sentral). Setelah krisis keuangan global, jelas pengawas bank harus tahu kondisi moneter dan makro tidak bisa memisahkan pengawas secara total," katanya. "Yang jelas, BI ketika membahas OJK, sudah menyampaikan hal-hal yang disampaikan tadi, tapi keputusan OJK adalah di pemerintah bersama-sama dengan DPR," tambah Halim.
Namun, saat ini tarik
ulur terjadi justru antara Pemerintah dan Pansus OJK DPR RI seputar penetapan
dewan komisioner OJK tanpa melibatkan BI. Tarik ulur inilah yang membuat
kemungkinan besar RUU OJK baru akan terealisasikan sekira Juni 2011 mendatang,
dari yang dijadwalkan semula akhir tahun ini. Anggota Pansus RUU OJK, Harry
menuturkan bahwa keinginan pemerintah untuk menempatkan perwakilannya dalam OJK
melalui dua anggota ex officio Dewan Komisioner membuat OJK tidak terlihat
sebagai lembaga independen. Hal itulah yang membuat perdebatan berlangsung
alot. "Dengan ex officio pemerintah masuk ke OJK, maka OJK jadi
tidak independen," tegasnya.
Menurutnya hal tersebut
bertentangan dengan amanah Pasal 34 Ayat 1. UU3 3/2004 Tentang Bank Indonesia
yakni OJK harus independen tanpa ada campur tangan pemerintah atau pihak lain.
"Komisi XI DPR menganggap pola pemerintah tidak mencerminkan pasal 34 ayat
1 itu," tambah Harry. Dia mengungkapkan jika memang pemerintah tetap
ngotot untuk ikut campur dalam OJK tersebut, maka sebaiknya peraturan tersebut
harus diganti. "Jika memang pemerintah ngotot, tidak independent, ya ganti
saja pasal 34-nya dan ajukan RUU OJK yang baru," tuntasnya.
Cekcok antara BI dan OJK adalah hal
lumrah dan bukan hanya monopoli Indonesia
Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) mulai 1 Januari tahun depan, diramalkan akan menghadirkan ketegangan
dengan otoritas moneter yakni Bank Indonesia. BI dan OJK diramalkan bakal
sering cekcok karena adanya rivalitas dalam melakukan pengawasan terhadap bank.
Ketegangan dan konflik pun bakal tak terhindarkan karena adanya peraturan yang
tumpang-tindih diantara keduanya.
“Jangan dikira OJK dan BI akan
akur-akur saja nantinya. Bakal saling cekcok satu sama lain, karena adanya
ketentuan yang mungkin saling tumpang tindih dari kedua lembaga itu,” kata
Anwar Nasution, mantan deputi senior Gubernur BI di Jakarta. Meskipun demikian,
Anwar Nasution mengatakan cekcok antara BI dan OJK adalah hal lumrah dan bukan
hanya monopoli Indonesia. Menurut dia, di negara-negara lain yang menganut
mazhab pemisahan antara otoritas moneter dan otoritas keuangan, ketegangan dan
cekcok yang demikian sering terjadi. “Saya sering diundang berceramah oleh OJK
di Singapura, Korea dan Jepang. Yang selalu saya dengar dari mereka adalah
ketegangan dan pertengkaran antara OJK dan bank sentralnya,” kata Anwar.
Ia menambahkan, dalam proses transisi pemisahan fungsi BI dan OJK nantinya, paling tidak diperlukan waktu tiga sampai lima tahun hingga semuanya berjalan lancar. “Pengalaman di negara-negara lain, integrasi seluruh lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan memerlukan masa 3-5 tahun,” tutur Anwar. Salah satu hal yang krusial nantinya adalah dalam soal pemeriksaan bank. Menurut UU, salah satu tugas OJK adalah melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap bank dan lembaga keuangan lainnya. Di sisi lain, BI juga tetap melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap bank, walau pun nanti OJK sudah berdiri.
“BI masih akan melakukan pemeriksaan terhadap bank, walau pun OJK sudah berdiri,” kata deputi gubernur BI, Halim Alamsyah. Bedanya, menurut Halim, pemeriksaan yang dilakukan oleh BI adalah dalam rangka makroprudensial. Artinya pemeriksaan BI atas bank lebih untuk mendapatkan gambaran kesehatan industri perbankan keseluruhan, bukan memeriksa kesehatan masing-masing individu bank.
Ia menambahkan, dalam proses transisi pemisahan fungsi BI dan OJK nantinya, paling tidak diperlukan waktu tiga sampai lima tahun hingga semuanya berjalan lancar. “Pengalaman di negara-negara lain, integrasi seluruh lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan memerlukan masa 3-5 tahun,” tutur Anwar. Salah satu hal yang krusial nantinya adalah dalam soal pemeriksaan bank. Menurut UU, salah satu tugas OJK adalah melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap bank dan lembaga keuangan lainnya. Di sisi lain, BI juga tetap melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap bank, walau pun nanti OJK sudah berdiri.
“BI masih akan melakukan pemeriksaan terhadap bank, walau pun OJK sudah berdiri,” kata deputi gubernur BI, Halim Alamsyah. Bedanya, menurut Halim, pemeriksaan yang dilakukan oleh BI adalah dalam rangka makroprudensial. Artinya pemeriksaan BI atas bank lebih untuk mendapatkan gambaran kesehatan industri perbankan keseluruhan, bukan memeriksa kesehatan masing-masing individu bank.
·
BI dan OJK Akan Perkuat Perbankan di
Jatim
Fungsi pengaturan dan pengawas
perbankan akan ada pemisahan dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dan akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Meskipun dengan fungsi yang
baru, BI dan OJK diharapkan untuk ikut memperkuat Perbankan di Jatim. Wagub
Jatim, Saifullah Yusuf menyampaikannya saat Serah Terima Fungsi
Pengaturan dan Pengawasan Bank dari BI kepada OJK di Bank Indonesia, Surabaya.
Menurutnya, pemisahan fungsi
tersebut telah diamanatkan di dalam Undang -Undang Nomor 21 tahun 2011
tentang OJK. Dengan adanya pemisahan fungsi tersebut, BI akan lebih
fokus pada makroprudensial dan OJK akan lebih fokus pada mikroprudensial.
Dengan fungsi seperti itu, keseimbangan yang tepat terkait kebijakan antara
makroprudensial dan mikroprudensial bisa bersinergi, sehingga membawa perbankan
pada posisi lebih kuat.
”Pasca penyerahan pengalihan fungsi
pengaturan perbankan ini, BI lebih fokus menjaga stabilitas dan kebijakan
moneter dan sistem pembayaran, sedangkan OJK mengawasi bank-bank yang tersebar
didaerah di seluruh Indonesia,” tuturnya. Pembentukan OJK , ucap Gus Ipul
sapaan akrabnya, bertujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa
keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel. Sehingga
akan terwujud system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil,
serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
“Dengan begitu OJK akan bersentuhan dalam perlindungan masyarakat dalam mengakses lembaga jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance dan lembaga jasa keuangan lainnya. Pastinya, Pemprov Jatim akan sangat terbantu dalam bidang perbankan dengan adanya peralihan fungsi tersebut,” tegasnya.
Ia menuturkan, dengan adanya peralihan fungsi tersebut memberikan keuntungan bagi Pemprov Jatim, diantaranya terbantu dengan pemikiran-pemikiran yang kritis dan membangun dari BI dalam mengembangkan potensi perekonomian serta mengedalikan inflasi ,sehingga kondisi makro ekonomi Jatim akan semakin stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mudah tercapai.
“Dengan begitu OJK akan bersentuhan dalam perlindungan masyarakat dalam mengakses lembaga jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance dan lembaga jasa keuangan lainnya. Pastinya, Pemprov Jatim akan sangat terbantu dalam bidang perbankan dengan adanya peralihan fungsi tersebut,” tegasnya.
Ia menuturkan, dengan adanya peralihan fungsi tersebut memberikan keuntungan bagi Pemprov Jatim, diantaranya terbantu dengan pemikiran-pemikiran yang kritis dan membangun dari BI dalam mengembangkan potensi perekonomian serta mengedalikan inflasi ,sehingga kondisi makro ekonomi Jatim akan semakin stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mudah tercapai.
·
Pengawasan Bank Diambil Alih OJK
Bank Indonesia berprinsip, model
pengawasan bank yang paling cocok adalah oleh bank sentral. Namun, BI tidak
keberatan fungsi pengawasan bank diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan asal
tetap diberi keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat.
Jalan tengah yang diusulkan BI
adalah mengikutsertakan salah satu anggota Dewan Gubernur BI sebagai Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Sistem pengawasan lembaga keuangan
dapat dituangkan dalam suatu model di mana Deputi Gubernur BI bidang pengawasan
secara ex officio akan menjadi anggota Dewan Komisioner OJK sekaligus sebagai
chief supervisory officer otoritas pengawasan bank,” kata Deputi Gubernur BI Budi
Rochadi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta.
Jadi, ujar Budi, meskipun kebijakan
pengawasan bank sudah menjadi kewenangan OJK sepenuhnya, BI tetap memiliki
keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat.
Hal itu sangat penting untuk
mendukung fungsi BI dalam menjaga kestabilan mata uang rupiah dan sebagai
lender of the last resort atau penyedia likuiditas untuk menyelamatkan sistem
keuangan. Mustahil bagi BI bisa dengan cepat menyalurkan likuiditas jika tidak
memiliki informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang sistemik. Padahal,
faktor kecepatan dan ketepatan dalam pemberian bantuan kepada bank yang tengah
menghadapi krisis likuiditas amat vital mengingat transaksi pembayaran
antarbank terjadi dalam hitungan detik.
Budi mengatakan, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 34 Undang-Undang BI Tahun 1999, pemisahan fungsi
pengawasan bank dari BI akan mengakibatkan kurang optimalnya peran BI dalam
melaksanakan tugas sebagai pelaksana kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan
stabilitas sistem keuangan.
Panitia kerja DPR
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang BI, pembentukan OJK paling lambat akhir 2010. Sebelumnya,
pembentukan OJK diwarnai tarik ulur antara Kementerian Keuangan yang
menginginkan OJK segera dibentuk dan BI yang menginginkan agar pembentukannya
tidak terburu-buru serta terlebih dahulu dikaji secara mendalam. Rencana
pembentukan OJK sempat gamang karena pada faktanya, Inggris yang juga
menerapkan model OJK (Financial Services Authority) ternyata gagal menahan
krisis perbankan tahun 2008, yang ditandai oleh jatuhnya Northern Rock, Royal
Bank of Scotland, TSB Lloyds, dan bank lainnya.
Bank-bank tersebut akhirnya harus
direkapitalisasi dengan biaya yang sangat besar. Merespons hal tersebut,
Parlemen Inggris akhirnya merekomendasikan agar fungsi pengawasan bank dan
stabilitas keuangan dikembalikan kepada bank sentral Inggris, yakni Bank of
England. Namun, menurut anggota Komisi XI DPR, Maruarar Sirait, pembentukan OJK
kembali menemukan momentumnya sejak kasus Bank Century terungkap. Kasus
Century, lanjut Maruarar, secara jelas menunjukkan kelemahan pengawasan BI.
Bank Century yang sudah sakit parah sejak merger tahun 2004 ternyata tetap
dibiarkan hidup.
Bahkan, ungkap Maruarar, BI tidak
mengetahui bahwa selama bertahun-tahun dana nasabah Bank Century telah
diselewengkan oleh pemiliknya sendiri.
”Jadi, fungsi pengawasan bank harus
dipisahkan dari BI. Karena itu, pembentukan OJK harus dipercepat,” ujar
Maruarar. Dalam salah satu kesimpulan rapat kemarin, Komisi XI DPR juga meminta
kepada BI untuk memperketat, mengefektifkan, dan meningkatkan kualitas fungsi
pengawasan perbankan. Untuk membahas persoalan pengawasan perbankan secara
lebih mendalam, Komisi XI DPR akan membentuk panitia kerja pengawasan
perbankan. Selanjutnya, Komisi XI dan BI sepakat untuk melakukan kajian
mengenai model pengawasan perbankan yang paling cocok di Indonesia sebagai
bahan pertimbangan dalam pembuatan undang-undang mengenai pengawasan perbankan.
Rentang bunga
Di tempat yang sama, Deputi Gubernur
BI Muliaman Hadad mengatakan, rentang atau spread antara suku bunga dana dan
kredit semakin menyempit. Pada akhir Januari 2010, rentang suku bunga sebesar
6,08 persen, turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 6,24
persen. Penurunan rentang bunga, kata Muliaman, akan berjalan lebih cepat jika
penyaluran kredit meningkat. BI menargetkan pertumbuhan kredit tahun ini
sebesar 15 persen. Untuk menurunkan rentang bunga, BI juga berencana memberikan
patokan pada faktor-faktor yang memengaruhi bunga kredit, yakni bunga deposito,
premi risiko, biaya operasional, dan margin keuntungan. Rentang bunga di
Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga yang hanya
berkisar 3-4 persen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar