Jumat, 17 Januari 2014

Pemisahan BI dan OJK



                                         



Mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) antara pemerintah dan Pansus RUU OJK DPR RI seputar masalah independensi OJK karena adanya perwakilan pemerintah di Dewan Komisioner, semestinya juga melihat posisi Bank Indonesia (BI) dalam lembaga tersebut. Pengamat ekonomi Agustinus Prasetyantoko menyatakan sebenarnya OJK sendiri akan lebih kompleks jika dipisahkan dari BI.

"Kalau OJK dipisah dari BI malah akan terjadi yang lebih kompleks. Satu variable dengan variable lain sulit dibedakan, sehingga sulit melihat faktor yang kurang," ungkapnya pada seminar "Reformasi Kebijakan Moneter dan Pengawasan Bank" di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (16/12/2010).
Menurutnya jika dipisahkan unsur BI dari OJK maka akan mengorbankan kebijakan mikro bank dengan makro moneter, sehingga konteksnya menjadi tidak jelas. "Pemisahan OJK dan BI akan mengorbankan kebijakan mikro bank dengan makro moneter, jadi kalau dipisahkan maka akan sulit membedakan konteks mikro dan makro," tegasnya. Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah juga menuturkan fungsi pengawasan perbankan idealnya memang harus dipegang oleh BI sebagai bank sentral.

"Idealnya seperti itu (fungsi pengawasan bank ada di bank sentral). Setelah krisis keuangan global, jelas pengawas bank harus tahu kondisi moneter dan makro tidak bisa memisahkan pengawas secara total," katanya. "Yang jelas, BI ketika membahas OJK, sudah menyampaikan hal-hal yang disampaikan tadi, tapi keputusan OJK adalah di pemerintah bersama-sama dengan DPR," tambah Halim.
Namun, saat ini tarik ulur terjadi justru antara Pemerintah dan Pansus OJK DPR RI seputar penetapan dewan komisioner OJK tanpa melibatkan BI. Tarik ulur inilah yang membuat kemungkinan besar RUU OJK baru akan terealisasikan sekira Juni 2011 mendatang, dari yang dijadwalkan semula akhir tahun ini. Anggota Pansus RUU OJK, Harry menuturkan bahwa keinginan pemerintah untuk menempatkan perwakilannya dalam OJK melalui dua anggota ex officio Dewan Komisioner membuat OJK tidak terlihat sebagai lembaga independen. Hal itulah yang membuat perdebatan berlangsung alot. "Dengan ex officio pemerintah masuk ke OJK, maka OJK jadi tidak independen," tegasnya.
Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan amanah Pasal 34 Ayat 1. UU3 3/2004 Tentang Bank Indonesia yakni OJK harus independen tanpa ada campur tangan pemerintah atau pihak lain. "Komisi XI DPR menganggap pola pemerintah tidak mencerminkan pasal 34 ayat 1 itu," tambah Harry. Dia mengungkapkan jika memang pemerintah tetap ngotot untuk ikut campur dalam OJK tersebut, maka sebaiknya peraturan tersebut harus diganti. "Jika memang pemerintah ngotot, tidak independent, ya ganti saja pasal 34-nya dan ajukan RUU OJK yang baru," tuntasnya.


Cekcok antara BI dan OJK adalah hal lumrah dan bukan hanya monopoli Indonesia


Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai 1 Januari tahun depan, diramalkan akan menghadirkan ketegangan dengan otoritas moneter yakni Bank Indonesia.  BI dan OJK diramalkan bakal sering cekcok karena adanya rivalitas dalam melakukan pengawasan terhadap bank. Ketegangan dan konflik pun bakal tak terhindarkan karena adanya peraturan yang tumpang-tindih diantara keduanya.

“Jangan dikira OJK dan BI akan akur-akur saja nantinya. Bakal saling cekcok satu sama lain, karena adanya ketentuan yang mungkin saling tumpang tindih dari kedua lembaga itu,” kata Anwar Nasution, mantan deputi senior Gubernur BI di Jakarta. Meskipun demikian, Anwar Nasution mengatakan cekcok antara BI dan OJK adalah hal lumrah dan bukan hanya monopoli Indonesia. Menurut dia, di negara-negara lain yang menganut mazhab pemisahan antara otoritas moneter dan otoritas keuangan, ketegangan dan cekcok yang demikian sering terjadi. “Saya sering diundang berceramah oleh OJK di Singapura, Korea dan Jepang. Yang selalu saya dengar dari mereka adalah ketegangan dan pertengkaran antara OJK dan bank sentralnya,” kata Anwar.

Ia menambahkan, dalam proses transisi pemisahan fungsi BI dan OJK nantinya, paling tidak diperlukan waktu tiga sampai lima tahun hingga semuanya berjalan lancar. “Pengalaman di negara-negara lain, integrasi seluruh lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan memerlukan masa 3-5 tahun,” tutur Anwar. Salah satu hal yang krusial nantinya adalah dalam soal pemeriksaan bank. Menurut UU, salah satu tugas OJK adalah melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap bank dan lembaga keuangan lainnya. Di sisi lain, BI juga tetap melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap bank, walau pun nanti OJK sudah berdiri.

“BI masih akan melakukan pemeriksaan terhadap bank, walau pun OJK sudah berdiri,” kata deputi gubernur BI, Halim Alamsyah. Bedanya, menurut Halim, pemeriksaan yang dilakukan oleh BI adalah dalam rangka makroprudensial. Artinya pemeriksaan BI atas bank lebih untuk mendapatkan gambaran kesehatan industri perbankan keseluruhan, bukan memeriksa kesehatan masing-masing individu bank.

·         BI dan OJK Akan Perkuat Perbankan di Jatim
Fungsi pengaturan dan pengawas perbankan akan ada pemisahan dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Meskipun dengan fungsi yang baru, BI dan OJK diharapkan untuk ikut memperkuat Perbankan di Jatim. Wagub Jatim, Saifullah Yusuf menyampaikannya saat Serah Terima Fungsi  Pengaturan dan Pengawasan Bank dari BI kepada OJK di Bank Indonesia, Surabaya.

Menurutnya, pemisahan fungsi tersebut telah diamanatkan di dalam Undang -Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang  OJK.  Dengan adanya pemisahan fungsi tersebut, BI akan lebih fokus pada makroprudensial dan OJK akan lebih fokus pada mikroprudensial. Dengan fungsi seperti itu, keseimbangan yang tepat terkait kebijakan antara makroprudensial dan mikroprudensial bisa bersinergi, sehingga membawa perbankan pada posisi lebih kuat.

”Pasca penyerahan pengalihan fungsi pengaturan perbankan ini, BI  lebih fokus menjaga stabilitas dan kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan OJK mengawasi bank-bank yang tersebar didaerah di seluruh Indonesia,” tuturnya. Pembentukan OJK , ucap Gus Ipul sapaan akrabnya,  bertujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel. Sehingga akan terwujud system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

“Dengan begitu OJK akan bersentuhan dalam perlindungan masyarakat dalam mengakses lembaga jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance dan lembaga jasa keuangan lainnya. Pastinya,  Pemprov Jatim akan sangat terbantu dalam bidang perbankan dengan adanya peralihan fungsi tersebut,” tegasnya.

Ia menuturkan, dengan adanya peralihan fungsi tersebut memberikan keuntungan bagi Pemprov Jatim, diantaranya terbantu dengan pemikiran-pemikiran yang kritis dan membangun dari BI dalam mengembangkan potensi perekonomian serta mengedalikan inflasi ,sehingga kondisi makro ekonomi Jatim akan semakin stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mudah tercapai.

·         Pengawasan Bank Diambil Alih OJK
Bank Indonesia berprinsip, model pengawasan bank yang paling cocok adalah oleh bank sentral. Namun, BI tidak keberatan fungsi pengawasan bank diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan asal tetap diberi keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat.
Jalan tengah yang diusulkan BI adalah mengikutsertakan salah satu anggota Dewan Gubernur BI sebagai Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Sistem pengawasan lembaga keuangan dapat dituangkan dalam suatu model di mana Deputi Gubernur BI bidang pengawasan secara ex officio akan menjadi anggota Dewan Komisioner OJK sekaligus sebagai chief supervisory officer otoritas pengawasan bank,” kata Deputi Gubernur BI Budi Rochadi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta.
Jadi, ujar Budi, meskipun kebijakan pengawasan bank sudah menjadi kewenangan OJK sepenuhnya, BI tetap memiliki keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat.
Hal itu sangat penting untuk mendukung fungsi BI dalam menjaga kestabilan mata uang rupiah dan sebagai lender of the last resort atau penyedia likuiditas untuk menyelamatkan sistem keuangan. Mustahil bagi BI bisa dengan cepat menyalurkan likuiditas jika tidak memiliki informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang sistemik. Padahal, faktor kecepatan dan ketepatan dalam pemberian bantuan kepada bank yang tengah menghadapi krisis likuiditas amat vital mengingat transaksi pembayaran antarbank terjadi dalam hitungan detik.

Budi mengatakan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 Undang-Undang BI Tahun 1999, pemisahan fungsi pengawasan bank dari BI akan mengakibatkan kurang optimalnya peran BI dalam melaksanakan tugas sebagai pelaksana kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.

Panitia kerja DPR
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI, pembentukan OJK paling lambat akhir 2010. Sebelumnya, pembentukan OJK diwarnai tarik ulur antara Kementerian Keuangan yang menginginkan OJK segera dibentuk dan BI yang menginginkan agar pembentukannya tidak terburu-buru serta terlebih dahulu dikaji secara mendalam. Rencana pembentukan OJK sempat gamang karena pada faktanya, Inggris yang juga menerapkan model OJK (Financial Services Authority) ternyata gagal menahan krisis perbankan tahun 2008, yang ditandai oleh jatuhnya Northern Rock, Royal Bank of Scotland, TSB Lloyds, dan bank lainnya.

Bank-bank tersebut akhirnya harus direkapitalisasi dengan biaya yang sangat besar. Merespons hal tersebut, Parlemen Inggris akhirnya merekomendasikan agar fungsi pengawasan bank dan stabilitas keuangan dikembalikan kepada bank sentral Inggris, yakni Bank of England. Namun, menurut anggota Komisi XI DPR, Maruarar Sirait, pembentukan OJK kembali menemukan momentumnya sejak kasus Bank Century terungkap. Kasus Century, lanjut Maruarar, secara jelas menunjukkan kelemahan pengawasan BI. Bank Century yang sudah sakit parah sejak merger tahun 2004 ternyata tetap dibiarkan hidup.

Bahkan, ungkap Maruarar, BI tidak mengetahui bahwa selama bertahun-tahun dana nasabah Bank Century telah diselewengkan oleh pemiliknya sendiri.
”Jadi, fungsi pengawasan bank harus dipisahkan dari BI. Karena itu, pembentukan OJK harus dipercepat,” ujar Maruarar. Dalam salah satu kesimpulan rapat kemarin, Komisi XI DPR juga meminta kepada BI untuk memperketat, mengefektifkan, dan meningkatkan kualitas fungsi pengawasan perbankan. Untuk membahas persoalan pengawasan perbankan secara lebih mendalam, Komisi XI DPR akan membentuk panitia kerja pengawasan perbankan. Selanjutnya, Komisi XI dan BI sepakat untuk melakukan kajian mengenai model pengawasan perbankan yang paling cocok di Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan undang-undang mengenai pengawasan perbankan.

Rentang bunga
Di tempat yang sama, Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad mengatakan, rentang atau spread antara suku bunga dana dan kredit semakin menyempit. Pada akhir Januari 2010, rentang suku bunga sebesar 6,08 persen, turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 6,24 persen. Penurunan rentang bunga, kata Muliaman, akan berjalan lebih cepat jika penyaluran kredit meningkat. BI menargetkan pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 15 persen. Untuk menurunkan rentang bunga, BI juga berencana memberikan patokan pada faktor-faktor yang memengaruhi bunga kredit, yakni bunga deposito, premi risiko, biaya operasional, dan margin keuntungan. Rentang bunga di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga yang hanya berkisar 3-4 persen. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar