Jumat, 17 Januari 2014

Pro dan Kontra Penutupan Terminal Lebak Bulus



Penutupan Terminal Lebak Bulus dan pengalihan bus antarkota dan antarprovinsi meresahkan para penghuni terminal. Terutama kalangan karyawan perusahaan bus yang bekerja di lapangan. Mereka mengaku tidak siap dipindah ke tiga terminal pengalihan karena bakal bersaing mendapatkan penumpang dengan rekannya yang sudah lebih dulu merajai terminal. "Teman kami jadi lawan kami," kata Ombun Gunungsinaga, karyawan Perusahaan Otobus (PO) Safari Eka, Senin, 6 Januari 2014. Menurut dia, meski satu perusahaan, akan muncul bentrokan kultural antarkaryawan PO.

"Kita jalan, ngelihat orang di sana saja sudah diteriakkin, 'apa lu!' Apalagi mau menarik penumpang, cari komisi. Mana mungkin dua majikan dalam satu lubang," kata pria asal Sumatera Utara ini.  Terlebih, berdasar pengalaman dia yang pernah bekerja di Terminal Pulogadung dan Tanjung Priok, Lebak Bulus adalah terminal yang paling ramah pengunjung. Di sana, penumpang bus tidak dilepas asal-asalan, tapi dilayani lebih baik. "Di terminal lain, penumpang cuma disuruh tunggu. Di sini kesantunannya beda, diantar sampai busnya." 

Hotman Hutahayan dari PO Garuda Mas curhat hal yang sama. "Mereka di sana tidak akan menerima kami. Tidak mungkin dapur mereka kami usik," katanya. Sementara mereka kompak menyebut perusahaan tidak mau tahu. "Mereka tahunya di terminal ada pengurus."  Ombun menambahkan, perusahaan tidak akan bisa jadi penengah. "Secara formal mungkin perusahaan bisa menengahi. Tapi praktek di lapangan tidak akan bisa." M. Noor, karyawan PO Sahabat Noor, juga khawatir soal persaingan mendapatkan penumpang, terutama jurusan Jawa Barat yang dilayani puluhan PO. "Rebutan penumpangnya parah. Akan ada sinisme di situ," dia menjelaskan. Ia pun mengamini soal pelayanan. "Soal kenyamanan penumpang, Terminal Lebak Bulus itu nomor satu se-Jabodetabek," kata pria yang sudah delapan tahun bekerja di terminal. Dia mengklaim tindak kejahatan di sana sangat minim. "Betul-betul kami jaga." 

Noor menyebutkan ada 500-an karyawan yang punya kekhawatiran ini. Mereka berasal dari 87 PO bus. Per perusahaan setidaknya ada enam karyawan. Menurut dia, mereka adalah karyawan tetap, bukan calo. "Ini tidak ada hubungannya dengan calo." 

Karyawan lapangan seperti mereka tidak mendapat gaji bulanan. Pendapatannya bergantung pada jumlah penumpang. Rata-rata per bulan penghasilannya bisa Rp 3 juta. Mereka ini sebagian besar pengunjuk rasa di terminal siang tadi. "Kalau sopir bus tidak terlalu merasakan dampak. Mereka demo untuk solidaritas saja," kata Noor. Disinggung soal jumlah penumpang yang akan mengikuti perpindahan terminal, mereka menyebutkan hal itu tidak menjawab keresahan. Sebab, penumpang belum tentu mau pindah ke terminal pengalihan. "Kan banyak terminal bayangan. Di sana ada agen-agen juga," Hotman merujuk Ciledug dan Kebayoran Lama. 

Karena itulah mereka minta pengalihan terminal jangan jauh-jauh. "Tapi yang dekat, seperti Ciputat, belum ada jawaban." Meski dekat, menurut dia, akses jalan masuk Terminal Ciputat tidak leluasa. "Jalannya sempit untuk bus besar. Bus bikin jalan macet." Seperti diberitakan sebelumnya, mulai malam ini Terminal Lebak Bulus akan ditutup karena pembangunan mass rapid transit. Proyek ini antara lain berupa subway, angkutan bawah tanah yang menghubungkan Lebak Bulus dengan kawasan Dukuh Atas di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Bus-bus yang biasa beroperasi di sana akan dialihkan. Tujuan Jawa Barat ke Kampung Rambutan; Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur ke Pulogadung; dan antarpulau ke Kalideres.

Dampak Kelemahan Rupiah Daya Beli Masyarakat



Bila pelemahan nilai tukar Rupiah terus dibiarkan, maka pada akhirnya akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, akan terjadi penurunan daya beli masyarakat, yang nantinya memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Ina Primiana mengatakan, pemerintah sedari dini harus bersegera mengeluarkan kebijakan yang dampaknya dapat terlihat dalam jangka waktu pendek, yakni terkait melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.

Ina berpendapat, pemicu rupiah melemah sekarang ini dikarenakan meningkatnya kebutuhan valas akibat ditariknya dana-dana asing di pasar modal, jatuh temponya pembayaran utang luar nNegeri, baik pemerintah maupun swasta dan adanya pembelian barang impor. “Ini seharusnya segera dilakukan kebijakan yang memang bisa membuat Rupiah kita tidak melemah terus. Karena akan ada dampak yang terjadi bila pelemahan Rupiah itu tidak segera diatasi”, kata Ina, dalam diskusi “Penyebab Krisis Nilai Tukar dan Dampaknya Terhadap Ekonomi Nasional”, di Jakarta, Jumat, 6 September 2013.

Dampak pembiaran nilai tukar Rupiah yang dimaksudkan, yakni akan menurunnya daya beli, meningkatnya kemiskinan, industri akan mengalami kebangkrutan yang disusul dengan meningkatnya PHK, dan terjebaknya Indonesia pada Middle Income Trap. “Dapatkah paket kebijakan ekonomi menahan kondisi yang lebih buruk. Apalagi, paket kebijakan ekonomi lebih tepat untuk jangka menengah dan jangka panjang, dan bukan sekarang. Terlambat, karena digelontorkan saat sudah terjadi turbulensi”, tegas Ina.

Ada dua faktor penyebab melemahnya nilai tukar rupiah atas dollar. Pertama, faktor internal atau dalam negeri Indonesia, termasuk didalamnya perubahan kebijakan terkait  investasi.
Kedua faktor ekternal atau internasional. Faktor ini dipengaruhi oleh misalnya upaya-upaya perbaikan ekonomi Amerika, upaya pertumbuhan ekonomi (stimulus) di Jepang.  Kemudian investasi terbesar di Indonesia adalah disektor komoditas primer seperti karet, minyak. 

Jika harga komoditas primer di pasaran internasional turun maka tidak menarik bagi  investor. “Kalau tidak diupayakan  produk dalam negeri maka kesejahteraan masyarakat di desa akan terombang–ambing. Oleh karena itu dorong produk dalam negeri,” tegasnya.

Pemisahan BI dan OJK



                                         



Mandeknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) antara pemerintah dan Pansus RUU OJK DPR RI seputar masalah independensi OJK karena adanya perwakilan pemerintah di Dewan Komisioner, semestinya juga melihat posisi Bank Indonesia (BI) dalam lembaga tersebut. Pengamat ekonomi Agustinus Prasetyantoko menyatakan sebenarnya OJK sendiri akan lebih kompleks jika dipisahkan dari BI.

"Kalau OJK dipisah dari BI malah akan terjadi yang lebih kompleks. Satu variable dengan variable lain sulit dibedakan, sehingga sulit melihat faktor yang kurang," ungkapnya pada seminar "Reformasi Kebijakan Moneter dan Pengawasan Bank" di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (16/12/2010).
Menurutnya jika dipisahkan unsur BI dari OJK maka akan mengorbankan kebijakan mikro bank dengan makro moneter, sehingga konteksnya menjadi tidak jelas. "Pemisahan OJK dan BI akan mengorbankan kebijakan mikro bank dengan makro moneter, jadi kalau dipisahkan maka akan sulit membedakan konteks mikro dan makro," tegasnya. Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah juga menuturkan fungsi pengawasan perbankan idealnya memang harus dipegang oleh BI sebagai bank sentral.

"Idealnya seperti itu (fungsi pengawasan bank ada di bank sentral). Setelah krisis keuangan global, jelas pengawas bank harus tahu kondisi moneter dan makro tidak bisa memisahkan pengawas secara total," katanya. "Yang jelas, BI ketika membahas OJK, sudah menyampaikan hal-hal yang disampaikan tadi, tapi keputusan OJK adalah di pemerintah bersama-sama dengan DPR," tambah Halim.
Namun, saat ini tarik ulur terjadi justru antara Pemerintah dan Pansus OJK DPR RI seputar penetapan dewan komisioner OJK tanpa melibatkan BI. Tarik ulur inilah yang membuat kemungkinan besar RUU OJK baru akan terealisasikan sekira Juni 2011 mendatang, dari yang dijadwalkan semula akhir tahun ini. Anggota Pansus RUU OJK, Harry menuturkan bahwa keinginan pemerintah untuk menempatkan perwakilannya dalam OJK melalui dua anggota ex officio Dewan Komisioner membuat OJK tidak terlihat sebagai lembaga independen. Hal itulah yang membuat perdebatan berlangsung alot. "Dengan ex officio pemerintah masuk ke OJK, maka OJK jadi tidak independen," tegasnya.
Menurutnya hal tersebut bertentangan dengan amanah Pasal 34 Ayat 1. UU3 3/2004 Tentang Bank Indonesia yakni OJK harus independen tanpa ada campur tangan pemerintah atau pihak lain. "Komisi XI DPR menganggap pola pemerintah tidak mencerminkan pasal 34 ayat 1 itu," tambah Harry. Dia mengungkapkan jika memang pemerintah tetap ngotot untuk ikut campur dalam OJK tersebut, maka sebaiknya peraturan tersebut harus diganti. "Jika memang pemerintah ngotot, tidak independent, ya ganti saja pasal 34-nya dan ajukan RUU OJK yang baru," tuntasnya.


Cekcok antara BI dan OJK adalah hal lumrah dan bukan hanya monopoli Indonesia


Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai 1 Januari tahun depan, diramalkan akan menghadirkan ketegangan dengan otoritas moneter yakni Bank Indonesia.  BI dan OJK diramalkan bakal sering cekcok karena adanya rivalitas dalam melakukan pengawasan terhadap bank. Ketegangan dan konflik pun bakal tak terhindarkan karena adanya peraturan yang tumpang-tindih diantara keduanya.

“Jangan dikira OJK dan BI akan akur-akur saja nantinya. Bakal saling cekcok satu sama lain, karena adanya ketentuan yang mungkin saling tumpang tindih dari kedua lembaga itu,” kata Anwar Nasution, mantan deputi senior Gubernur BI di Jakarta. Meskipun demikian, Anwar Nasution mengatakan cekcok antara BI dan OJK adalah hal lumrah dan bukan hanya monopoli Indonesia. Menurut dia, di negara-negara lain yang menganut mazhab pemisahan antara otoritas moneter dan otoritas keuangan, ketegangan dan cekcok yang demikian sering terjadi. “Saya sering diundang berceramah oleh OJK di Singapura, Korea dan Jepang. Yang selalu saya dengar dari mereka adalah ketegangan dan pertengkaran antara OJK dan bank sentralnya,” kata Anwar.

Ia menambahkan, dalam proses transisi pemisahan fungsi BI dan OJK nantinya, paling tidak diperlukan waktu tiga sampai lima tahun hingga semuanya berjalan lancar. “Pengalaman di negara-negara lain, integrasi seluruh lembaga pengatur dan pengawas lembaga keuangan memerlukan masa 3-5 tahun,” tutur Anwar. Salah satu hal yang krusial nantinya adalah dalam soal pemeriksaan bank. Menurut UU, salah satu tugas OJK adalah melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan terhadap bank dan lembaga keuangan lainnya. Di sisi lain, BI juga tetap melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap bank, walau pun nanti OJK sudah berdiri.

“BI masih akan melakukan pemeriksaan terhadap bank, walau pun OJK sudah berdiri,” kata deputi gubernur BI, Halim Alamsyah. Bedanya, menurut Halim, pemeriksaan yang dilakukan oleh BI adalah dalam rangka makroprudensial. Artinya pemeriksaan BI atas bank lebih untuk mendapatkan gambaran kesehatan industri perbankan keseluruhan, bukan memeriksa kesehatan masing-masing individu bank.

·         BI dan OJK Akan Perkuat Perbankan di Jatim
Fungsi pengaturan dan pengawas perbankan akan ada pemisahan dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Meskipun dengan fungsi yang baru, BI dan OJK diharapkan untuk ikut memperkuat Perbankan di Jatim. Wagub Jatim, Saifullah Yusuf menyampaikannya saat Serah Terima Fungsi  Pengaturan dan Pengawasan Bank dari BI kepada OJK di Bank Indonesia, Surabaya.

Menurutnya, pemisahan fungsi tersebut telah diamanatkan di dalam Undang -Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang  OJK.  Dengan adanya pemisahan fungsi tersebut, BI akan lebih fokus pada makroprudensial dan OJK akan lebih fokus pada mikroprudensial. Dengan fungsi seperti itu, keseimbangan yang tepat terkait kebijakan antara makroprudensial dan mikroprudensial bisa bersinergi, sehingga membawa perbankan pada posisi lebih kuat.

”Pasca penyerahan pengalihan fungsi pengaturan perbankan ini, BI  lebih fokus menjaga stabilitas dan kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan OJK mengawasi bank-bank yang tersebar didaerah di seluruh Indonesia,” tuturnya. Pembentukan OJK , ucap Gus Ipul sapaan akrabnya,  bertujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel. Sehingga akan terwujud system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

“Dengan begitu OJK akan bersentuhan dalam perlindungan masyarakat dalam mengakses lembaga jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance dan lembaga jasa keuangan lainnya. Pastinya,  Pemprov Jatim akan sangat terbantu dalam bidang perbankan dengan adanya peralihan fungsi tersebut,” tegasnya.

Ia menuturkan, dengan adanya peralihan fungsi tersebut memberikan keuntungan bagi Pemprov Jatim, diantaranya terbantu dengan pemikiran-pemikiran yang kritis dan membangun dari BI dalam mengembangkan potensi perekonomian serta mengedalikan inflasi ,sehingga kondisi makro ekonomi Jatim akan semakin stabil dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mudah tercapai.

·         Pengawasan Bank Diambil Alih OJK
Bank Indonesia berprinsip, model pengawasan bank yang paling cocok adalah oleh bank sentral. Namun, BI tidak keberatan fungsi pengawasan bank diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan asal tetap diberi keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat.
Jalan tengah yang diusulkan BI adalah mengikutsertakan salah satu anggota Dewan Gubernur BI sebagai Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Sistem pengawasan lembaga keuangan dapat dituangkan dalam suatu model di mana Deputi Gubernur BI bidang pengawasan secara ex officio akan menjadi anggota Dewan Komisioner OJK sekaligus sebagai chief supervisory officer otoritas pengawasan bank,” kata Deputi Gubernur BI Budi Rochadi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR di Jakarta.
Jadi, ujar Budi, meskipun kebijakan pengawasan bank sudah menjadi kewenangan OJK sepenuhnya, BI tetap memiliki keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat.
Hal itu sangat penting untuk mendukung fungsi BI dalam menjaga kestabilan mata uang rupiah dan sebagai lender of the last resort atau penyedia likuiditas untuk menyelamatkan sistem keuangan. Mustahil bagi BI bisa dengan cepat menyalurkan likuiditas jika tidak memiliki informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang sistemik. Padahal, faktor kecepatan dan ketepatan dalam pemberian bantuan kepada bank yang tengah menghadapi krisis likuiditas amat vital mengingat transaksi pembayaran antarbank terjadi dalam hitungan detik.

Budi mengatakan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 Undang-Undang BI Tahun 1999, pemisahan fungsi pengawasan bank dari BI akan mengakibatkan kurang optimalnya peran BI dalam melaksanakan tugas sebagai pelaksana kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.

Panitia kerja DPR
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang BI, pembentukan OJK paling lambat akhir 2010. Sebelumnya, pembentukan OJK diwarnai tarik ulur antara Kementerian Keuangan yang menginginkan OJK segera dibentuk dan BI yang menginginkan agar pembentukannya tidak terburu-buru serta terlebih dahulu dikaji secara mendalam. Rencana pembentukan OJK sempat gamang karena pada faktanya, Inggris yang juga menerapkan model OJK (Financial Services Authority) ternyata gagal menahan krisis perbankan tahun 2008, yang ditandai oleh jatuhnya Northern Rock, Royal Bank of Scotland, TSB Lloyds, dan bank lainnya.

Bank-bank tersebut akhirnya harus direkapitalisasi dengan biaya yang sangat besar. Merespons hal tersebut, Parlemen Inggris akhirnya merekomendasikan agar fungsi pengawasan bank dan stabilitas keuangan dikembalikan kepada bank sentral Inggris, yakni Bank of England. Namun, menurut anggota Komisi XI DPR, Maruarar Sirait, pembentukan OJK kembali menemukan momentumnya sejak kasus Bank Century terungkap. Kasus Century, lanjut Maruarar, secara jelas menunjukkan kelemahan pengawasan BI. Bank Century yang sudah sakit parah sejak merger tahun 2004 ternyata tetap dibiarkan hidup.

Bahkan, ungkap Maruarar, BI tidak mengetahui bahwa selama bertahun-tahun dana nasabah Bank Century telah diselewengkan oleh pemiliknya sendiri.
”Jadi, fungsi pengawasan bank harus dipisahkan dari BI. Karena itu, pembentukan OJK harus dipercepat,” ujar Maruarar. Dalam salah satu kesimpulan rapat kemarin, Komisi XI DPR juga meminta kepada BI untuk memperketat, mengefektifkan, dan meningkatkan kualitas fungsi pengawasan perbankan. Untuk membahas persoalan pengawasan perbankan secara lebih mendalam, Komisi XI DPR akan membentuk panitia kerja pengawasan perbankan. Selanjutnya, Komisi XI dan BI sepakat untuk melakukan kajian mengenai model pengawasan perbankan yang paling cocok di Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan undang-undang mengenai pengawasan perbankan.

Rentang bunga
Di tempat yang sama, Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad mengatakan, rentang atau spread antara suku bunga dana dan kredit semakin menyempit. Pada akhir Januari 2010, rentang suku bunga sebesar 6,08 persen, turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 6,24 persen. Penurunan rentang bunga, kata Muliaman, akan berjalan lebih cepat jika penyaluran kredit meningkat. BI menargetkan pertumbuhan kredit tahun ini sebesar 15 persen. Untuk menurunkan rentang bunga, BI juga berencana memberikan patokan pada faktor-faktor yang memengaruhi bunga kredit, yakni bunga deposito, premi risiko, biaya operasional, dan margin keuntungan. Rentang bunga di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga yang hanya berkisar 3-4 persen. 




Intensitas Banjir Jakarta sebelum dan sesudah JOKOWI menjadi Gubernur DKI Jakarta

Hujan bagi sebagian orang adalah berkah. Namun, jika datangnya berlebih, apalagi dengan kondisi saluran air yang semrawut seperti di Jakarta, banjir adalah akibatnya.  Masih banyak yang harus dikerjakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ( Jokowi ) agar banjir tak terjadi di Jakarta, seperti normalisasi waduk, sungai dan pembuatan sumur resapan. Soal normalisasi ini pun tak hanya 'tinggal keruk'. Ada proses pembebasan lahan yang diakui Jokowi menjadi kendala. 

Hujan deras yang mengguyur Jakarta pada Rabu, 8 Januari 2013, menimbulkan genangan air di sejumlah titik. Berdasarkan pantauan kawasan Tugu Tani, Kramat Raya, dan di dekat Megaria, Cikini, juga ikut terendam air ketika terjadi hujan deras. Semalam, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo malah sengaja keluar dari kantornya saat hujan deras untuk melihat area yang terendam air. “Tadi saya lihat yang paling parah di sekitar Universitas Tarumanegara, Grogol,” katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu, 8 Januari 2013.

Jokowi mengaku sudah memanggil Kepala Dinas Pekerjaan Umum Manggas Rudy Siahaan untuk membicarakan masalah itu. “Mungkin salurannya masih tersumbat sampah atau sedimen, biar bisa langsung dibersihkan,” katanya. Menurutnya, pembuatan sumur resapan di Jakarta juga belum banyak berpengaruh terhadap daya serap air Ibu Kota. “Baru juga dibuat 1.000, nanti kalau sudah ada satu atau dua juta sumur resapan, baru terasa manfaatnya,” ujar mantan Wali Kota Surakarta itu. Selain memperbaiki infrastruktur untuk mencegah banjir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga akan merekayasa cuaca untuk mengatur curah hujan di Jakarta. Jokowi menyebutkan anggaran yang disiapkan untuk rekayasa cuaca itu mencapai Rp 18 miliar. Namun, dana dalam RAPBD 2014 itu belum ditetapkan oleh DPRD DKI Jakarta

Kepala Bidang Perawatan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Djoko Soesetyo mengungkapkan, ada perbedaan signifikan di antara Fauzi Bowo dengan Joko Widodo yaitu :
1. Pada saat Fauzi Bowo menjadi Gubernur tahun 2009 pengerukan kali, sungai dan wadukmenggunakan tenaga manusia, makanya butuh waktu lama untuk mengerjakannya.
2.    Pada tiga tahun pertama kepemimpinan Foke, menganggarkan 1, 677 T untuk membiayai Program penanggulangan banjir
3.     Tembusnya Kanal Banjir Timur (KBT) ke Laut. Dalam waktu 2 tahun, ia dapat membebaskan tanah 4.600 m2 . KBT tembus ke Laut Jawa pada akhir 2009 , berfungsi sepajang 23,57 kilometer, dengan lebar bervariasi antara 100 -200 meter dan kedalaman 3,7 meter. KBT mampu mengatasi kawasan genangan air di Timur dan Utara Jakarta. Selain itu, data dari dinas Pekerjaan Umum menyatakan bahwa pada masa ini, Pemerintah DKI telah membebaskan 18 dari 78 kawasan genangan air, dan telah membebaskan 33 dari 106 genangan air di Jalan.
4.  Pada saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta 2013-2014, Jokowi dinilai lebih rajin sowan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum. Tidak hanya itu, Jokowi juga aktif melakukan komunikasi dengan pemerintah kota di sekitar Jakarta. Jokowi juga lebih rajin mencari cara mengatasi banjir dengan bekerja sama dengan instansi negara.  Normalisasi sungai dianggap sangat penting karena penumpukan sampah di dasar sungai sudah melebihi  batas sehingga jika hujan tiba, banjir tidak dapat terhindarkan karena sungai tidak mampu lagi  menampung debit air yang terus bertambah. Jokowi juga berencana untuk membuat waduk besar di Ciawi dan Cimanggis, Jawa Barat. Banyak warga Jakarta yang berasumsi bahwa bencana banjir yang melanda Ibu Kota merupakan "banjir kiriman" dari Bogor, Jawa Barat. Padahal, penyebabnya adalah ketidak displinan mereka yang sering membuang sampah sembarangan.
5.  Pembuatan sumur serapan sebanyak-banyaknya dari hulu hingga hilir. Diharapkan, hal ini berguna untuk mengurangi aliran air yang masuk ke Jakarta. Langkah selanjutnya adalah pembuatan sejumlah pompa air di Jakarta Utara dimaksudkan untuk mengurangi genangan air di Jakarta Utara.

6.    

5.